Puteri Jawa di Tanah Sumatera: Antara Akar, Alam, dan Cinta pada Dua Budaya

Darah Jawa, Napas Sumatera: Di Antara Dua Budaya yang Menyatu

Setiap langkah di tanah kelahiran membawa cerita. Aku lahir dan tumbuh di Sumatera Utara, di antara suara serunai dan wangi tanah basah selepas hujan. Namun dalam nadiku, mengalir darah Jawa yang diwariskan dari leluhur yang dulu menyeberang dari pulau seberang, mencari kehidupan baru di tanah Sumatera. Dua budaya yang berbeda ini, perlahan menyatu menjadi satu identitas — sebuah harmoni yang tidak bisa dipisahkan dari jati diriku.

Ketika Akar Jawa Menyentuh Tanah Sumatera

Orang Jawa sering dikenal dengan kelembutan tutur katanya, kesopanan dalam bersikap, dan filosofi hidup yang berakar dari nilai eling lan waspada — selalu ingat dan berhati-hati dalam melangkah. Di sisi lain, Sumatera Utara menanamkan keberanian, ketegasan, dan semangat juang yang kuat dalam diri siapa pun yang tinggal di sana. Dua karakter yang berbeda ini, bagiku, justru saling melengkapi.

Aku tumbuh di lingkungan yang penuh keberagaman. Setiap hari mendengar sapaan dalam bahasa Batak, melihat tradisi Melayu hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa, Mandailing, dan Karo. Dari sinilah aku belajar bahwa budaya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dirayakan. Aku mungkin berdarah Jawa, tapi napasku — cara aku hidup, merasa, dan mencintai — adalah napas Sumatera.

Belajar Hidup dari Dua Dunia

Hidup di antara dua budaya seperti memiliki dua guru bijak yang mengajarkan hal berbeda, tapi dengan tujuan yang sama: menjadi manusia yang utuh. Dari orang tuaku yang Jawa, aku belajar tentang kesabaran, ketekunan, dan arti menghormati orang lain. Sementara dari masyarakat Sumatera di sekitarku, aku belajar tentang keberanian menyuarakan pendapat dan ketulusan dalam berteman.

Perpaduan itu menjadikan hidupku kaya warna. Saat mengikuti acara adat, aku bisa duduk di antara tabuhan gondang Batak sambil mengingat gamelan yang pernah kudengar di rumah nenek. Saat menghadiri pernikahan, aku bisa kagum pada ulos yang dililit dengan bangga di bahu, sembari membayangkan kebaya lembut yang dikenakan di perayaan Jawa. Dua dunia ini tidak saling meniadakan — mereka justru saling menguatkan.

Sumatera yang Membentuk, Jawa yang Menenangkan

Ada kalanya aku merasa Sumatera mengajarkanku untuk berani melangkah, sementara darah Jawa di dalam diriku selalu mengingatkan untuk tetap rendah hati. Saat menatap Danau Toba yang luas, aku seolah belajar tentang keluasan hati orang Sumatera; namun ketika menatap sawah yang hijau di kampung, aku teringat tentang ketenangan dan keseimbangan ala Jawa.

Keduanya membuatku memahami arti “rumah” bukan lagi sekadar tempat lahir, melainkan ruang di mana kita diterima apa adanya. Dan di Sumatera Utara, aku menemukan rumah itu. Di sini, keramahan orang-orangnya, alamnya yang menenangkan, serta kehidupan yang berdenyut kuat membuatku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan indah.

Menjaga Harmoni di Tengah Perbedaan

Menjadi Puteri Jawa di tanah Sumatera bukan hal yang mudah. Kadang ada benturan kecil dalam kebiasaan, bahasa, atau cara pandang. Tapi setiap perbedaan justru menuntunku untuk lebih memahami makna toleransi dan keberagaman. Di sini aku belajar, bahwa perbedaan bukan penghalang — ia adalah jembatan yang menghubungkan hati.

Aku percaya, Indonesia tumbuh kuat justru karena keberagaman seperti ini. Karena di setiap pelosok negeri, ada kisah seperti punyaku: kisah orang-orang yang hidup di antara dua budaya, namun tak pernah kehilangan arah. Kita belajar untuk mencintai dua tanah, dua bahasa, dua cara pandang, dan menjadikannya satu kesatuan utuh.

Menutup Cerita, Membuka Rasa

Kini setiap kali aku menulis tentang Sumatera Utara, aku seperti sedang menulis tentang diriku sendiri. Alamnya, budayanya, dan orang-orangnya adalah bagian dari napasku. Namun di balik itu semua, ada darah Jawa yang tetap mengalir — mengingatkanku dari mana aku berasal.

Aku tidak perlu memilih antara Jawa atau Sumatera, karena keduanya sudah menjadi satu dalam diriku. Seperti langit dan bumi yang berbeda namun saling membutuhkan, begitulah aku hidup: dengan darah Jawa, dan napas Sumatera.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Artikel